GENERASI QUR’ANI SEBAGAI AGEN of CHANGE

By. M.Taufiq Windaryanto, S.Pd.I., M.Pd.



Muqodimah

Secara fitrah, manusia dilengkapi dengan sifat-sifat mulia seperti murah hati, dermawan, kefasihan lisan, dan lain sebagainya. Tetapi nilai manusia di sisi Allah tidaklah sebatas atas dasar ini, melainkan manusia yang mampu menguasai kemauan dan perasaannya.

Fisiknya manusia adalah kumpulan organ dan alat tubuh, sedangkan hakikatnya adalah suatu unit halus dan transparan. Bila suatu pikiran menguasainya maka akan tampak imbasnya pada tiap bagian, kondisi, dan kaberadaannya. Saat suatu hal muncul dalam hati manusia maka seluruh hidupnya akan terwarnai, baik berkait dengan shalat, puasa, dakwah, jihad, atau sebatas menyingkirkan duri dalam diri manusia yang akan memberinya kenikmatan duniawi dan ukhrowi. Karena itu, maka patutlah direnungkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Sirin r.a. bahwa Rosulullah SAW bersabda: “Para sahabat dan tabi’in semua belajar untuk mencari petunjuk (hidayah-Nya) sebagaimana mereka belajar untuk mencari ilmu”.

Pengaruh Globalisasi

Memasuki millenium ketiga, sejalan dengan sikap keterbukaan dalam hubungan antar negara dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, maka globalisasi kultural merupakan konsekuensi yang tak terelakkan lagi. Unsur-unsur budaya dari suatu negara dengan cepatnya memasuki negara lain terutama dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang. Globalisasi itu sendiri secara leksikal sebagaimana diungkapkan Ferry Firmawan dapat diartikan mengecilkan dunia, pencabutan waktu dari ruang, penjara ruang-waktu (time-space distanciation), dan pemadatan ruang-waktu (time-space compression).[1]

Teknologi komunikasi elektronik sebagai resultan dari globalisasi yang saat ini berkembang dengan pesat mampu menyampaikan berita dan informasi yang tersebar ke seluruh dunia, sehingga kehadirannya dapat mengubah wilayah kesadaran kehidupan kita.[2] Sebagaimana diutarakan oleh Giddens, sadar ataupun tidak, misalnya gambar seorang Nelson Mandela menjadi lebih kita kenal daripada tetangga kita sendiri, gambar Zinidan Zidane pahlawan Timnas Perancis dapat kita lihat dengan mudah lewat media televisi tanpa kita harus nyalter Garuda ke Perancis. Dengan demikian batas antara satu wilayah satu dengan wilayah lain hampir tak berarti lagi sehingga bumi ini menjadi satu kesatuan kecil yang tidak terbatas. Apa yang terjadi di dunia luar tanpa kesulitan yang berarti dapat diakses dan bahkan disuguhkan sampai ke ruang kamar pribadi atau bahkan kamar mandi sekaligus.

Ekses atau dampak dari globalisasi itu sendiri dapat sesuai dengan apa yang kita harapkan sebagaimana tersebut diatas (positif) dan juga sebaliknya (negatif). Dampak negatif yang sangat terasa adalah mengalirnya sekte-sekte, norma-norma perilaku dan unsur-unsur budaya dari dunia Barat ke dunia Timur. Padahal nilai-nilai budaya Timur jelas-jelas berbeda atau tidaklah sama dengan budaya dunia Barat.

Ziauddin Sardar seorang pemikir Islam berkebangsaan Iran dalam bukunya yang telah ditranslate ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Tantangan dunia Islam abad 21” menyatakan bahwa dampak negatif era informasi dan globalisasi sungguh menggoyahkan nilai-nilai akhlak Islam. Masyarakat muslim di negara manapun banyak yang terpukau dengan apa yang disiarkan oleh media massa. Namun mereka kurang menyadari bahwa di dalamnya mengandung unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Di negara-negara maju yang didominasi oleh kehidupan masyarakat modern terdapat pergeseran nilai yang besar tentang norma moralitas yang sebelumnya dijunjung tinggi oleh masyarakat lambat laun semakin teralienasi.[3]

Realitas Zaman

Di kalangan masyarakat Jawa sering kita dengar ucapan dari para pemimpin mereka bahwa sekarang ini kita telah memasuki zaman edan. Di kalangan umat Islam, zaman kita ini disebut zaman akhir. Meskipun istilah zaman edan dan zaman akhir berasal dari sumber yang berbeda, namun keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu suatu masa yang masyarakatnya mengalami kemerosotan moral yang parah, yang di dalamnya terdapat perilaku warga masyarakat yang aneh-aneh, olehe urip ora lumrah nanging kaprah, yang berbeda dengan perilaku warga masyarakat pada masa sebelumnya. Banyak kaum politisi, para pendidik, dan pemuka agama yang menyatakan bahwa sekarang ini bangsa ini “Indonesia sedang “sakit”.

Sebagai resultan dari ekses negatif adanya globalisasi[4] di kalangan masyarakat kita, ternyata nilai-nilai etika dan estetika norma masyarakat telah pudar dan bahkan telah berubah menjadi uphoria tanpa arah. Budi pekerti bagi sebagian besar masyarakat kita telah merosot tajam, di mana sadisme dan premanisme ngremboko bak jamur di musim penghujan, dan yang lebih miris lagi adalah banyak orang yang kehilangan budaya malu” di berbagai aktifitas kehidupannya. Seorang budayawan kerabat keraton Surakarta, KRT Winarso Kalinggo Honggopuro menyatakan, “Masa’ sirah dipledhingi justru diagung-agungkan dan dielu-elukan”. Memang zaman sudah berbalik, tindak kejahatan dan kemaksiatan mengalami peningkatan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Kalau kita tengok masa lampau, pada awal kemerdekaan kaum wanita masih merasa risih dan malu memakai celana pendek meski di dalam rumah. Tetapi kini banyak kaum wanita yang berjalan-jalan keluar rumah, berbelanja di toko atau di mall memakai celana pendek yang ketat sehingga kelihatan “bahenol” dan memakai T-shirt yang ketat pula sehingga lekukan tubuhnya yang aduahi terlihat dengan jelas dan fenomenal. Fenomena yang ada gadis-gadis maupun ibu rumah tangga merasa tersanjung bilamana dikatakan sexy. Di bidang seni misalnya seni suara, lagu-lagu dangdut pada awalnya diiringi dengan gerak tarian sopan dan kostum yang sopan pula serta banyak membawakan lagu-lagu dakwah. Tetapi kini banyak penari dangdut yang dengan bangga menonjolkan erotisme dan sensualitas (delton dan suton). Semua itu menandakan terjadinya pergeseran nilai-nilai moral di kalangan masyarakat dan bangsa kita. Inilah yang dalam istilah Abdurrohman Mas’ud disebut sebagai jahiliyah modern yang sangat membahayakan.[5]

Generasi Qur’ani sebuah solusi

Untuk menghadapi era globlasisasi yang serba kompetitif seperti saat ini diperlukan sumber daya manusia yang handal dan berkualitas. Manusia berkualitas dalam Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah “manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rokhani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[6]

Manusia yang beriman dan bertanggung jawab dalam konteks ini adalah manusia yang mampu menyadari sepenuhnya bahwa di balik kekuasaan yang ada pada manusia ini, ada kekuasaan lain yang maha besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup dan kehidupan manusia di atas dunia ini.[7] Ia selalu berbuat kebajikan di dalam kehidupan ini, baik terhadap dirinya, terhadap masyarakat dan terhadap alam sekitarnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah penciptanya. Ia selalu menjauhkan diri dari segala perbuatan buruk yang dapat merusak dirinya, masyarakat di sekitarnya dan alam lingkungannya.[8]

Di samping itu ia mempunyai budi pekerti luhur, sesuai dengan ajaran agama, adat sopan santun dan norma hukum yang berlaku. Dengan budi pekerti luhur yang dimilikinya ia akan mampu memfilter budaya yang masuk melalui media komunikasi dan informasi yang canggih, maupun yang terbawa oleh para pendatang yang tidak mungkin dibatasi dari seluruh pelosok dunia sebagai akibat dari globalisasi. Memiliki kesehatan jasmani dan rokhani yang memungkinkannya mampu berfikir dan berbuat dengan leluasa dan sempurna dalam kehidupan kesehariannya dalam rangka meningkatkan taraf kehidupannya. Memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri yang memungkinnya mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat mememnuhi kebutuhan pembangunan nasional. Ia berfikir dan berbuat bukan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya secara khusus dan untuk bangsanya secara umum.[9]

Namun untuk mewujudkan generasi Qur’ani di maksud bukanlah pekerjaan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ia harus diusahakan secara teratur dan kontinue baik melalui pendidikan informal seperti dalam keluarga, pendidikan formal atau melalui pendidikan non formal (masyarakat). Nah dari sini dimulailah generasi qur’ani yang revolusioner dan sebagai agent of change atau agen perubahan dalam masyarakat dalam rangka menciptakan masyarakat yang bermartabat dan berperadaban modern.

Berbicara tentang peradaban tidak akan terlepas dari sain modern. Hal ini desebabkan oleh kenyataan bahwa sains modernlah yang menjadi “tulang punggung” peradaban modern. Karena itulah maka dewasa ini banyak pemikir, baik di kalangan orientalis maupun oksidentalis merasa sangat berkepentingan untuk mengkaji secara kritis tentang sains modern tertutama berkaitan dengan landasan filosofisnya dan berusaha untuk menemukan paradigma sains alternatif yang diharapakan dapat lebih membahagiakan peri kehidupan umat manusia. Hal inilah yang di kalangan intelektual muslim lebih familier di kenal dengan istilan “Islamisasi sains”.

Keberanian merubah paradigma di atas di landasi beberapa problem yang menandai krisisnya peradaban modern,[10] sebagai misal: tersisihkannya dimensi ilahiah dalam kehidupan manusia sebagai akibat sekularisasi, adanya degradasi nilai-nilai humanitas, alienasi manusia, dan krisis lingkungan sebagai akibat pengurasan dan pengrusakan sumber daya alam. Dengan melihat fenomena di atas maka kewajiban generasi muda tertuma generasi muda Islam yang harus dan senantiasa mempunyai semangat juang untuk memperkaya pengetahuan baik pengetahuan umum wabil khusus pengetahuan agama, sehingga krisis multi dimensi di masyarakat kita dapat terminimalisir.

Generasi muda sekarang dan yang akan datang diharapkan mampu menjadi teknokrat yang beriman, birokrat yang beriman, politisi yang beriman, ulama yang selalu berpegang pada Al-Qur’an dan sunah Nabi, atau meminjam istilah KH.M. Hasyim Asy’ari menjadi generasi yang pinter dan bener (adab al-‘alim wa al-muta’alim)[11]. Karena suatu keniscayaan bahwa adanya kemajuan disebabkan majunya pendidikan. Generasi Islam maju bilamana pendidikannya maju.[12] Dengan demikian ia dapat berfikir kritis untuk memajukan dirinya, keluarganya, agamanya, masyarakatnya dan yang lebih luas lagi ia diharapkan menjadi “lampu penerang” bagi kegelapan bangsa dan negaranya. Jika generasi Qur’ani ini menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat, maka cara berfikir, bertindak dan merespon fenomena kemasyarakatan akan memberikan kedamaian, kenyamanan dan keadilan bagi rakyatnya. Oleh sebab itu, masa depan yang dibutuhkan adalah generasi-generasi Qur’ani yang mampu memimpin masyarakat sehinnga tercipta masyarakat yang Islami baldatun toyyibatun wa robbul ghofur., bukan sebaliknya pemimpin yang memperdaya rakyat. Sekian.


END NOTE


Abdurrahman Mas’ud. (2003). dalam Risalah untuk mimbar umat MUI Jawa Tengah, Edisi IV/TH II.

Anthony Gidden. (1999). Runaway World, BBC Reith Lectures: Globalization.

Ferry Firmawan (2003) Demi Islam, Demi Indonesia, Dari kaum muda untuk bangsa, Semarang: Nalar.

Hasyim Asy’ari. (2003). Menjadi Orang Pinter dan Bener (Adab al-‘alim wa al-muta’allim), Yogyakart: Qirtas.

Ibnu Djarir. (2003). Memasuki Zaman Edan, dalam Risalah untuk mimbar umat MUI Jawa Tengah, Edisi IV/TH II.

Jalaluddin Rahmat. (2001). Tarekat Nurcholisy, Jakarta: Pustaka Pelajar.

Jurnal Edukasi. (2003). Pendidikan Islam Kritis, Konstruksi Intelektual Islam Organik, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Muhaimin. (2003). Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM).

Said Agil Husin Al Munawar. (2004). Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers.

Sholihan. (2003). Pemikiran Epistimologi Al-Ghozali, Jurnal Penelitian Walisongo, ISSN 0852 – 7172, Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Qanun Publishing, 2004.

Wahiduddin Khan (2002). Menjadi Generasi Qur’ani, Yogyakarta: Mitra Pustaka.




Learning Theory


Learning Theory
DESKRIPSI
            Pada esensinya belajar merupakan suatu kebutuhan dasar (basic need) bagi setiap manusia. Dengan belajar maka pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, nilai, sikap, tingkah laku dan semua perbuatan manusia terbentuk, disesuaikan dan dikembangkan. Ada pendapat yang mengemukakan bahwa belajar harus mengakibatkan perubahan tingkah laku dan perubahan tersebut sifatnya relatif permanen. Di lain sisi Bobbi De Porter dan Mike Hernacki menegaskan bahwa belajar pada dasarnya merupakan penyesuaian gaya belajar seseorang di dalam mengolah informasi dalam diri seseorang (Bobbi De Porter dan Mike Hernacki : 2003).
            Dari beberapa pendapat mengenai belajar dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseoramg  untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Di tempat lain Slameto mengemukakan bahwa perubahan tingkah laku itu mempunyai ciri-ciri antara lain; 1) perubahan tersebut terjadi secara sadar; 2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional; 3) perubahan tersebut bersifat positif dan aktif; 4) tidak bersifat sementara; 5) perubahan tersebut mempunyai tujuan dan terarah; dan 6) perubahan tersebut mencakup seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2003:3)
            Dari pengertian mengenai belajar tersebut kita dapat menarik sebuah pengertian mengenai teori belajar. Teori belajar (learnig theory) adalah suatu hasil pemikiran maupun hasil penelitian yang menjelaskan bagaimana proses belajar berlangsung pada diri seseorang. Teori Belajar bersifat deskriptif dalam arti mendeskripsikan bagaimana proses belajar berlangsung dalam diri seseorang (Mukminan : 1998).
            Dalam hal ini Teori Belajar sangat berguna sebagai dasar pengembangan pembelajaran (Instuctional development). Namun perlu diketahui bahwa teori belajar itu sendiri mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain sebagaimana diungkapkan Mukminan ; 1) diturunkan dari percobaan-percobaan dengan binatang; 2) dilakukan dengan kontrol yang ketat; 3) eksperimen di kelas sulit dilakukan (Mukminan : 2005).
            Berangkat dari gambaran di atas, maka pembahasan makalah ini selanjutnya akan mengupas atau bahkan mengkritik  salah satu dari sekian banyak teori belajar yang ada, dalam hal ini adalah teori behaviorisme. Akan tetapi sebelumnya akan dikemukakan gambaran secara singkat tentang aliran-aliran dalam teori belajar dan aspek-aspeknya, antara lain :
TEORI/ ASPEK
BEHAVIORISME

KOGNITIVISME
HUMANISTIK
SIBERNETIK
Makna belajar
Perubahan tingkah laku
Perubahan persepsi
Memanusiakan manusia
Pengolahan informasi
Proses belajar
Stimulus-Respon
Tahapan yang terikat dan kontinu
Pengalaman untuk mencari pengetahuan
Menggunakan sistem informasi
Kekuat-an
Mengutamakan hasil interaksi stimulus-respon
Mengutamakan proses belajar
Mengutamakan pengalaman, aktivitas dan proses
Berfikir divergen dan sistematis
Kelemahan
-Proses belajar yang komplek tidak terjelaskan
-asumsi “stimulus-   respon” terlalu sederhana
- - Lebih dekat ke   psikologi
- sulit melihat “struktur kognitif” yang ada pada setiap individu.
Lebih dekat ke filsafat dari pada pendidikan
Hanya menekankan sistem informasi dari pada materi

Peneka-nan
pada hasil belajar
Pada proses belajar
Pada isi atau materi
Pada sistem informasi
Tokoh
Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthri,  Skinner
Piaget, Ausubel, Brunner
Bloom dan Krathwohl, Kolb, Honey dan Mumford, Habermas
Landa, Pask da Scott



MADZHAB BEHAVIORISTIK                
                  Uraian di atas secara sederhana telah mengupas tentang teori – teori belajar, walaupun terkesan parsial namun diharapkan bisa memberikan pemahaman yang komprehensif tentang teori-teori yang membangun konsep dalam belajar dan pembelajaran. Selanjutnya penulis akan mencoba meneropong apa hakikat sebenarnya tentang madzhab behavioristik.
            Secara sengaja E.L Thorndike sang profesor di Universitas Columbia, New York Amerika Serikat menemukan teori Conektionisme yang selanjutnya kita kenal teori tersebut sebagai bagian dari madzhab behavioristik. Dalam teori ini disebutkan mengenai keadaan belajar seseorang yang mempunyai korelasi positif dengan tingkat kepuasan sebagai akibat dari suatu respon. Semakin kuat tingkat kepuasan/reward yang dijanjikan semakin tinggi pula semangat untuk memperolehnya. Dalam temuannya Thorndike menyebutnya sebagai dialek antara stimulus dengan respon.
            Sebagaimana telah kita pahami selama ini, percobaan Thorndike yang menggunakan sampel binatang dan problem box memberikan suatu deskripsi bahwa pross pencarian kebenaran merupakan konsep trial and error. Dengan lain perkataan bahwa percobaan Thorndike tersebut menggambarkan seorang pencari (binatang sebagai sampelnya) yang berada dalam lingkungan bermasalah (problem box). Binatang tersebut hanya dapat menemukan kebenaran dengan terus melakukan perbuatan yang monoton dan sudah disetting sedemikian rupa oleh perancangnya.
            Secara filosofis, madzhab behavioristik memiliki kaitan erat dengan paradigma Newtonian yang menganggap dunia dan alam semesta ini sebagai mesin yang dapat dikendalikan semaunya. Madzhab behavioristik mewakili puncak pendekatan mekanistik pada bidang psikologi. Berdasarkan pengetahuan fisiologi manusia yang terperinci, kaum behavioris menciptakan suatu “psikologi tanpa jiwa”, suatu bentuk bangunan pengetahuan yang menyerupai versi manusia mesin (Fritjhof Capra : 2002 ).
            Asumsi dasar yang dibangun madzhab behavioristik adalah;  pertama, bahwa fenomena-fenomena yang kompleks dapat direduksi menjadi kombinasi rangsangan dan tanggapan sederhana. Artinya, hukum-hukum yang ditarik dari situasi eksperimen diharapkan berlaku pada fenomena-fenomena yang lebih kompleks (Firtjof Capra : 2002, 197). Kedua, sensasionalisme diasumsikan bahwa segala perilaku manusia terjadi karena pengalaman sensorik (sensoric empiris). Ketiga, asosialisme, perilaku manusia (dalam hal ini termasuk mental) terjadi karena hubungan asosiasi yang dilakukan secara berulang-ulang (reinforcement). Keempat, mekanisme, manusia disamakan dengan mesin yang dapat diatur sedemikian rupa tanpa mempertimbangkan komponen misterius yang ada pada dirinya ( Ainurrofiq Dawam : 2003 ).
            Dalam mainstream pemikiran madzhab behavioristik, terdapat suatu klaim bahwa manusia adalah mahluk pasif. Pemikiran ini menunjuk adanya kepasrahan untuk diproses dalam diri setiap manusia. Manusia tipe apapun dapat dibentuk sesuai keinginan pembentuknya. Karena sifatnya yang pasif, manusia hanyalah menerima respon-respon yang diberikan sekelilingnya dan dilanjutkan dengan proses pengukuhan (reinforcement). Dengan demikian aspek terparah yang akan dialami manusia adalah melekatnya mental-mental ”underdog” yang tidak memiliki kekuatan untuk memunculkan kemampuannya. Potensi yang ia miliki tidak terdeteksi secara maksimal karena proses eksternal telah menciptakan suatu mahluk yang siap diarahkan kemana proses tersebut menghendaki.
            Pada ranah berikutnya, menurut aliran ini manusia tidaklah memiliki potensi psikologis yang berhubungan dengan kegiatan belajar antara lain pikiran, persepsi, motivasi dan emosi ( Max Darsono , 2000 : 5 ). Dengan lain perkataan dapat disebut bahwa manusia adalah mahluk mekanis, karena menurut arah pemikirannya manusia alpa akan kemampuan psikologisnya. Manusia terdiri dari unsur-unsur yang dapat diolah sedemikian rupa terserah yang memprosesnya. Dengan asumsi seperti ini manusia dapat direkayasa sesuai dengan kehendak dan tujuan yang ditargetkan (Abib Syamsuddin Makmun, 2001 : 160).
            Bagi madzhab behavioristik yang terpenting dalam proses belajar adalah pemberian stimulus yang akan mengakibatkan terjadinya tingkah laku yang dapat diobservasi dan diukur. Sebagai misal, pertanyaan sederhana yang dapat dajukan adalah, mengapa aliran ini menafikan kemampuan dan potensi manusia dalam ranah psikologis? Hal demikian terjadi karena parameter yang digunakan adalah observasi dan ukuran. Setiap hal yang dapat diobservasi dan diukur itulah kebenaran bagi madzhab behavioristik. Demikian stimulus harus dipilih sesuai dengan keinginan, kemudian diberikan secara berulang-ulang dan terus menerus (latihan) sehinga muncullah respon. Respon yang nantinya dihasilkan adalah mekanistis. Nah, respon yang dihasilkan inilah yang akhirnya dijadikan suatu tolak ukur keberhasilan belajar.
            Apabila hubungan antara respon dan stimulus telah terjadi, maka itulah yang oleh madzhab behavioristik disebutkan bahwa proses belajar telah terjadi. Dalam arti telah terjadi perubahan-perubahan dari belum ada respon menjadi sudah ada respon. Respon yang telah dihasilkan tadi pun tergantung pada stimulus yang diberikan, sehingga dalam kebanyakan kasus kurang terdapat improvisasi dalam menanggapi respon.
            Kalau ditilik dalam konteks pembelajaran pada umumnya pengaruh madzhab behavioristik (Thorndike, Skinner maupun Pavlov) masih sangat kuat sekali, sehingga wajar bilamana masih banyak pengajar yang menginginkan muridnya menjadi bentuk tertentu sesuai dengan keinginannya. Karena bgi mereka seolah-olah murid dapat dibentuk atau kalau menurut madzhab behavioristik, tinggal memberi stimulus-stimulus kemudian mereka harus memberi respon.

MADZHAB BEHAVIORISTIK DALAM PEMBELAJARAN
            Gambaran diatas cenderung terkesan mengkritik akan keberadaan madzhab behavioristik. Hal itu tidak bermaksud membuat “anti tesis” akan ke-valid-an penemuan tersebut. Walau begitu namun penemuan yang dihasilkan lewat metode ilmiah berdasar atas asas hipotetiko verifikatif  seperti halnya yang telah dilakukan oleh Skinner dan kawan-kawan dengan madzhab behavioristnya merupakan penemuan yang monumental dan telah memberikan sumbangan yang tak ternilai harganya dalam dunia pendidikan pada umumnya dan kegiatan pembelajaran khususnya dewasa ini.
            Bagaimanapun juga teori belajar (behaviorism, kognitivism, humanistik, dan sibernetik) merupakan landasan pokok dalam menyususn desain, mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran. Dalam praktek instuksional tehnik pembentukan perilaku (Skinner) telah banyak digunakan dalam kegiatan pengembangan paket pembelajaran, penyampaian pembelajaran dan evaluasi hasil pembelajaran (Mukminan : 1998). Aplikasi teori behavioristik tercermin juga dengan adanya anlisis materi pelajaran untuk menentukan cara mempelajarinya. Bila pelajar dapat menguasai bagian-bagian yang harus dipelajari, maka berarti dia telah memperoleh konfirmasi tentang keberhasilan belajarnya.
            Teori behavioristik telah memberikan sumbangan dalam pengembangan pembelajaran (instuctional development) hal ini dapat terlihat pada program dan paket pembelajaran yang  menekankan pada soal mengingat-ingat kembali yang lebih memerlukan banyak laihan, pengulangan-pengulangan konsep penting, dan pengkajian ulang secara sistematis.
            Secara umum teori belajar (bersifat deskriptif) merupan landasan teori pembelajaran (bersifat peskriptif) yang selanjutnya diterapkan dalam praktik pembelajaran. Teori belajar yang bersifat pragmatik dan eklektik telah memberikan perhatian yang integral pada semua komponen akademika dalam praktek pembelajaran (Suciati  dan Prasetya Irawan : 2001). Sebagai contoh aplikasi teori belajar (teori behaviorisme)  dalam kegiatan pembelajaran, seperti :
1.  Menentukan kompetensi mata pelajaran
2.  Menganalisis lingkungan kelas yanag ada saat ini termasuk mengidentifikasi “entry behavior” siswa (pengetahuan awal siswa)
3.  Menentukan materi pokok (topik)
4.  Memecahkan materi pembelajaran menjadi bagian kecil-kecil (uraian materi pembelajaran)
5.  Menyajikan materi pembelajaran
6.  Memberikan stimulus yang mungkin berupa :
     @ pertanyaan
     @ tes  
     @ latihan
     @ tugas-tugas
7.  Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan
8.  Memberikan stimulus baru
9.  Memberikan penguatan/reinforcement (positif maupun negatif)
10. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan (mengevaluasi hasil belajar)
11. Memberikan penguatan (reinforcement)
12. dan seterusnya.



SUMBER BACAAN

Porter De Bobbi dan Hernacki Mike. (2003). Quantum Learning; Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenagkan. Bandung: Penerbit Kaifa
Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.Jakarta : Tineka Cipta
Mukminan. (1998). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pusat Pengembangan Pendidikan  Profesi Guru IKIP Yogyakarta.
Mukminan. (2005). Teori Pembelajaran. Hand-Out.
Capra, Fritjhof. (2002). Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan (terj.) “The Turning Point, The Science, Society, and Therising Culture. Yogyakarta : Bentang Budaya.
Dawam, Ainurrofiq. (2003). Emoh Sekolah”, menolak “Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme IntelektualMenuju Pendidikan Multi Kultural, Yogyakarta : Inspeal Ahimsaharya Press.
Darsono, Max. (2000). Belajar dan Pembelajaran. Semarang : IKIP S emarang Press.
Makmun, Syamsudin, Abib. (2001). Psikologi Kepndidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Suciati dan Irawan, Prasetya. (2001).