GENERASI QUR’ANI SEBAGAI AGEN of CHANGE

By. M.Taufiq Windaryanto, S.Pd.I., M.Pd.



Muqodimah

Secara fitrah, manusia dilengkapi dengan sifat-sifat mulia seperti murah hati, dermawan, kefasihan lisan, dan lain sebagainya. Tetapi nilai manusia di sisi Allah tidaklah sebatas atas dasar ini, melainkan manusia yang mampu menguasai kemauan dan perasaannya.

Fisiknya manusia adalah kumpulan organ dan alat tubuh, sedangkan hakikatnya adalah suatu unit halus dan transparan. Bila suatu pikiran menguasainya maka akan tampak imbasnya pada tiap bagian, kondisi, dan kaberadaannya. Saat suatu hal muncul dalam hati manusia maka seluruh hidupnya akan terwarnai, baik berkait dengan shalat, puasa, dakwah, jihad, atau sebatas menyingkirkan duri dalam diri manusia yang akan memberinya kenikmatan duniawi dan ukhrowi. Karena itu, maka patutlah direnungkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Sirin r.a. bahwa Rosulullah SAW bersabda: “Para sahabat dan tabi’in semua belajar untuk mencari petunjuk (hidayah-Nya) sebagaimana mereka belajar untuk mencari ilmu”.

Pengaruh Globalisasi

Memasuki millenium ketiga, sejalan dengan sikap keterbukaan dalam hubungan antar negara dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, maka globalisasi kultural merupakan konsekuensi yang tak terelakkan lagi. Unsur-unsur budaya dari suatu negara dengan cepatnya memasuki negara lain terutama dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang. Globalisasi itu sendiri secara leksikal sebagaimana diungkapkan Ferry Firmawan dapat diartikan mengecilkan dunia, pencabutan waktu dari ruang, penjara ruang-waktu (time-space distanciation), dan pemadatan ruang-waktu (time-space compression).[1]

Teknologi komunikasi elektronik sebagai resultan dari globalisasi yang saat ini berkembang dengan pesat mampu menyampaikan berita dan informasi yang tersebar ke seluruh dunia, sehingga kehadirannya dapat mengubah wilayah kesadaran kehidupan kita.[2] Sebagaimana diutarakan oleh Giddens, sadar ataupun tidak, misalnya gambar seorang Nelson Mandela menjadi lebih kita kenal daripada tetangga kita sendiri, gambar Zinidan Zidane pahlawan Timnas Perancis dapat kita lihat dengan mudah lewat media televisi tanpa kita harus nyalter Garuda ke Perancis. Dengan demikian batas antara satu wilayah satu dengan wilayah lain hampir tak berarti lagi sehingga bumi ini menjadi satu kesatuan kecil yang tidak terbatas. Apa yang terjadi di dunia luar tanpa kesulitan yang berarti dapat diakses dan bahkan disuguhkan sampai ke ruang kamar pribadi atau bahkan kamar mandi sekaligus.

Ekses atau dampak dari globalisasi itu sendiri dapat sesuai dengan apa yang kita harapkan sebagaimana tersebut diatas (positif) dan juga sebaliknya (negatif). Dampak negatif yang sangat terasa adalah mengalirnya sekte-sekte, norma-norma perilaku dan unsur-unsur budaya dari dunia Barat ke dunia Timur. Padahal nilai-nilai budaya Timur jelas-jelas berbeda atau tidaklah sama dengan budaya dunia Barat.

Ziauddin Sardar seorang pemikir Islam berkebangsaan Iran dalam bukunya yang telah ditranslate ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Tantangan dunia Islam abad 21” menyatakan bahwa dampak negatif era informasi dan globalisasi sungguh menggoyahkan nilai-nilai akhlak Islam. Masyarakat muslim di negara manapun banyak yang terpukau dengan apa yang disiarkan oleh media massa. Namun mereka kurang menyadari bahwa di dalamnya mengandung unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Di negara-negara maju yang didominasi oleh kehidupan masyarakat modern terdapat pergeseran nilai yang besar tentang norma moralitas yang sebelumnya dijunjung tinggi oleh masyarakat lambat laun semakin teralienasi.[3]

Realitas Zaman

Di kalangan masyarakat Jawa sering kita dengar ucapan dari para pemimpin mereka bahwa sekarang ini kita telah memasuki zaman edan. Di kalangan umat Islam, zaman kita ini disebut zaman akhir. Meskipun istilah zaman edan dan zaman akhir berasal dari sumber yang berbeda, namun keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu suatu masa yang masyarakatnya mengalami kemerosotan moral yang parah, yang di dalamnya terdapat perilaku warga masyarakat yang aneh-aneh, olehe urip ora lumrah nanging kaprah, yang berbeda dengan perilaku warga masyarakat pada masa sebelumnya. Banyak kaum politisi, para pendidik, dan pemuka agama yang menyatakan bahwa sekarang ini bangsa ini “Indonesia sedang “sakit”.

Sebagai resultan dari ekses negatif adanya globalisasi[4] di kalangan masyarakat kita, ternyata nilai-nilai etika dan estetika norma masyarakat telah pudar dan bahkan telah berubah menjadi uphoria tanpa arah. Budi pekerti bagi sebagian besar masyarakat kita telah merosot tajam, di mana sadisme dan premanisme ngremboko bak jamur di musim penghujan, dan yang lebih miris lagi adalah banyak orang yang kehilangan budaya malu” di berbagai aktifitas kehidupannya. Seorang budayawan kerabat keraton Surakarta, KRT Winarso Kalinggo Honggopuro menyatakan, “Masa’ sirah dipledhingi justru diagung-agungkan dan dielu-elukan”. Memang zaman sudah berbalik, tindak kejahatan dan kemaksiatan mengalami peningkatan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Kalau kita tengok masa lampau, pada awal kemerdekaan kaum wanita masih merasa risih dan malu memakai celana pendek meski di dalam rumah. Tetapi kini banyak kaum wanita yang berjalan-jalan keluar rumah, berbelanja di toko atau di mall memakai celana pendek yang ketat sehingga kelihatan “bahenol” dan memakai T-shirt yang ketat pula sehingga lekukan tubuhnya yang aduahi terlihat dengan jelas dan fenomenal. Fenomena yang ada gadis-gadis maupun ibu rumah tangga merasa tersanjung bilamana dikatakan sexy. Di bidang seni misalnya seni suara, lagu-lagu dangdut pada awalnya diiringi dengan gerak tarian sopan dan kostum yang sopan pula serta banyak membawakan lagu-lagu dakwah. Tetapi kini banyak penari dangdut yang dengan bangga menonjolkan erotisme dan sensualitas (delton dan suton). Semua itu menandakan terjadinya pergeseran nilai-nilai moral di kalangan masyarakat dan bangsa kita. Inilah yang dalam istilah Abdurrohman Mas’ud disebut sebagai jahiliyah modern yang sangat membahayakan.[5]

Generasi Qur’ani sebuah solusi

Untuk menghadapi era globlasisasi yang serba kompetitif seperti saat ini diperlukan sumber daya manusia yang handal dan berkualitas. Manusia berkualitas dalam Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah “manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rokhani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[6]

Manusia yang beriman dan bertanggung jawab dalam konteks ini adalah manusia yang mampu menyadari sepenuhnya bahwa di balik kekuasaan yang ada pada manusia ini, ada kekuasaan lain yang maha besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup dan kehidupan manusia di atas dunia ini.[7] Ia selalu berbuat kebajikan di dalam kehidupan ini, baik terhadap dirinya, terhadap masyarakat dan terhadap alam sekitarnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah penciptanya. Ia selalu menjauhkan diri dari segala perbuatan buruk yang dapat merusak dirinya, masyarakat di sekitarnya dan alam lingkungannya.[8]

Di samping itu ia mempunyai budi pekerti luhur, sesuai dengan ajaran agama, adat sopan santun dan norma hukum yang berlaku. Dengan budi pekerti luhur yang dimilikinya ia akan mampu memfilter budaya yang masuk melalui media komunikasi dan informasi yang canggih, maupun yang terbawa oleh para pendatang yang tidak mungkin dibatasi dari seluruh pelosok dunia sebagai akibat dari globalisasi. Memiliki kesehatan jasmani dan rokhani yang memungkinkannya mampu berfikir dan berbuat dengan leluasa dan sempurna dalam kehidupan kesehariannya dalam rangka meningkatkan taraf kehidupannya. Memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri yang memungkinnya mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat mememnuhi kebutuhan pembangunan nasional. Ia berfikir dan berbuat bukan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya secara khusus dan untuk bangsanya secara umum.[9]

Namun untuk mewujudkan generasi Qur’ani di maksud bukanlah pekerjaan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ia harus diusahakan secara teratur dan kontinue baik melalui pendidikan informal seperti dalam keluarga, pendidikan formal atau melalui pendidikan non formal (masyarakat). Nah dari sini dimulailah generasi qur’ani yang revolusioner dan sebagai agent of change atau agen perubahan dalam masyarakat dalam rangka menciptakan masyarakat yang bermartabat dan berperadaban modern.

Berbicara tentang peradaban tidak akan terlepas dari sain modern. Hal ini desebabkan oleh kenyataan bahwa sains modernlah yang menjadi “tulang punggung” peradaban modern. Karena itulah maka dewasa ini banyak pemikir, baik di kalangan orientalis maupun oksidentalis merasa sangat berkepentingan untuk mengkaji secara kritis tentang sains modern tertutama berkaitan dengan landasan filosofisnya dan berusaha untuk menemukan paradigma sains alternatif yang diharapakan dapat lebih membahagiakan peri kehidupan umat manusia. Hal inilah yang di kalangan intelektual muslim lebih familier di kenal dengan istilan “Islamisasi sains”.

Keberanian merubah paradigma di atas di landasi beberapa problem yang menandai krisisnya peradaban modern,[10] sebagai misal: tersisihkannya dimensi ilahiah dalam kehidupan manusia sebagai akibat sekularisasi, adanya degradasi nilai-nilai humanitas, alienasi manusia, dan krisis lingkungan sebagai akibat pengurasan dan pengrusakan sumber daya alam. Dengan melihat fenomena di atas maka kewajiban generasi muda tertuma generasi muda Islam yang harus dan senantiasa mempunyai semangat juang untuk memperkaya pengetahuan baik pengetahuan umum wabil khusus pengetahuan agama, sehingga krisis multi dimensi di masyarakat kita dapat terminimalisir.

Generasi muda sekarang dan yang akan datang diharapkan mampu menjadi teknokrat yang beriman, birokrat yang beriman, politisi yang beriman, ulama yang selalu berpegang pada Al-Qur’an dan sunah Nabi, atau meminjam istilah KH.M. Hasyim Asy’ari menjadi generasi yang pinter dan bener (adab al-‘alim wa al-muta’alim)[11]. Karena suatu keniscayaan bahwa adanya kemajuan disebabkan majunya pendidikan. Generasi Islam maju bilamana pendidikannya maju.[12] Dengan demikian ia dapat berfikir kritis untuk memajukan dirinya, keluarganya, agamanya, masyarakatnya dan yang lebih luas lagi ia diharapkan menjadi “lampu penerang” bagi kegelapan bangsa dan negaranya. Jika generasi Qur’ani ini menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat, maka cara berfikir, bertindak dan merespon fenomena kemasyarakatan akan memberikan kedamaian, kenyamanan dan keadilan bagi rakyatnya. Oleh sebab itu, masa depan yang dibutuhkan adalah generasi-generasi Qur’ani yang mampu memimpin masyarakat sehinnga tercipta masyarakat yang Islami baldatun toyyibatun wa robbul ghofur., bukan sebaliknya pemimpin yang memperdaya rakyat. Sekian.


END NOTE


Abdurrahman Mas’ud. (2003). dalam Risalah untuk mimbar umat MUI Jawa Tengah, Edisi IV/TH II.

Anthony Gidden. (1999). Runaway World, BBC Reith Lectures: Globalization.

Ferry Firmawan (2003) Demi Islam, Demi Indonesia, Dari kaum muda untuk bangsa, Semarang: Nalar.

Hasyim Asy’ari. (2003). Menjadi Orang Pinter dan Bener (Adab al-‘alim wa al-muta’allim), Yogyakart: Qirtas.

Ibnu Djarir. (2003). Memasuki Zaman Edan, dalam Risalah untuk mimbar umat MUI Jawa Tengah, Edisi IV/TH II.

Jalaluddin Rahmat. (2001). Tarekat Nurcholisy, Jakarta: Pustaka Pelajar.

Jurnal Edukasi. (2003). Pendidikan Islam Kritis, Konstruksi Intelektual Islam Organik, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Muhaimin. (2003). Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM).

Said Agil Husin Al Munawar. (2004). Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers.

Sholihan. (2003). Pemikiran Epistimologi Al-Ghozali, Jurnal Penelitian Walisongo, ISSN 0852 – 7172, Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Qanun Publishing, 2004.

Wahiduddin Khan (2002). Menjadi Generasi Qur’ani, Yogyakarta: Mitra Pustaka.




Ridho Tuhan

Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan adalah milik realitas tertinggi, Tuhan pencipta dan seru sekalian alam. Kebanyakan dari kita mungkin apripori dan tanpa disadari mungkin juga telah menisbikan kekuatan dan kemahasempurnaan Tuhan yang mempunyai segala-galanya di atas kemampuan manusia. Optimisme, kerja keras, dan do'a harus seiring sejalan untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga berbahagialah orang yang dalam hidupnya hanya mencari keridho'an Tuhan dan senantiasa mensyukuri atas segala kenikmatan yang telah Tuhan berikan kepada kita.