GENERASI QUR’ANI SEBAGAI AGEN of CHANGE

By. M.Taufiq Windaryanto, S.Pd.I., M.Pd.



Muqodimah

Secara fitrah, manusia dilengkapi dengan sifat-sifat mulia seperti murah hati, dermawan, kefasihan lisan, dan lain sebagainya. Tetapi nilai manusia di sisi Allah tidaklah sebatas atas dasar ini, melainkan manusia yang mampu menguasai kemauan dan perasaannya.

Fisiknya manusia adalah kumpulan organ dan alat tubuh, sedangkan hakikatnya adalah suatu unit halus dan transparan. Bila suatu pikiran menguasainya maka akan tampak imbasnya pada tiap bagian, kondisi, dan kaberadaannya. Saat suatu hal muncul dalam hati manusia maka seluruh hidupnya akan terwarnai, baik berkait dengan shalat, puasa, dakwah, jihad, atau sebatas menyingkirkan duri dalam diri manusia yang akan memberinya kenikmatan duniawi dan ukhrowi. Karena itu, maka patutlah direnungkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Sirin r.a. bahwa Rosulullah SAW bersabda: “Para sahabat dan tabi’in semua belajar untuk mencari petunjuk (hidayah-Nya) sebagaimana mereka belajar untuk mencari ilmu”.

Pengaruh Globalisasi

Memasuki millenium ketiga, sejalan dengan sikap keterbukaan dalam hubungan antar negara dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, maka globalisasi kultural merupakan konsekuensi yang tak terelakkan lagi. Unsur-unsur budaya dari suatu negara dengan cepatnya memasuki negara lain terutama dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang. Globalisasi itu sendiri secara leksikal sebagaimana diungkapkan Ferry Firmawan dapat diartikan mengecilkan dunia, pencabutan waktu dari ruang, penjara ruang-waktu (time-space distanciation), dan pemadatan ruang-waktu (time-space compression).[1]

Teknologi komunikasi elektronik sebagai resultan dari globalisasi yang saat ini berkembang dengan pesat mampu menyampaikan berita dan informasi yang tersebar ke seluruh dunia, sehingga kehadirannya dapat mengubah wilayah kesadaran kehidupan kita.[2] Sebagaimana diutarakan oleh Giddens, sadar ataupun tidak, misalnya gambar seorang Nelson Mandela menjadi lebih kita kenal daripada tetangga kita sendiri, gambar Zinidan Zidane pahlawan Timnas Perancis dapat kita lihat dengan mudah lewat media televisi tanpa kita harus nyalter Garuda ke Perancis. Dengan demikian batas antara satu wilayah satu dengan wilayah lain hampir tak berarti lagi sehingga bumi ini menjadi satu kesatuan kecil yang tidak terbatas. Apa yang terjadi di dunia luar tanpa kesulitan yang berarti dapat diakses dan bahkan disuguhkan sampai ke ruang kamar pribadi atau bahkan kamar mandi sekaligus.

Ekses atau dampak dari globalisasi itu sendiri dapat sesuai dengan apa yang kita harapkan sebagaimana tersebut diatas (positif) dan juga sebaliknya (negatif). Dampak negatif yang sangat terasa adalah mengalirnya sekte-sekte, norma-norma perilaku dan unsur-unsur budaya dari dunia Barat ke dunia Timur. Padahal nilai-nilai budaya Timur jelas-jelas berbeda atau tidaklah sama dengan budaya dunia Barat.

Ziauddin Sardar seorang pemikir Islam berkebangsaan Iran dalam bukunya yang telah ditranslate ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Tantangan dunia Islam abad 21” menyatakan bahwa dampak negatif era informasi dan globalisasi sungguh menggoyahkan nilai-nilai akhlak Islam. Masyarakat muslim di negara manapun banyak yang terpukau dengan apa yang disiarkan oleh media massa. Namun mereka kurang menyadari bahwa di dalamnya mengandung unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Di negara-negara maju yang didominasi oleh kehidupan masyarakat modern terdapat pergeseran nilai yang besar tentang norma moralitas yang sebelumnya dijunjung tinggi oleh masyarakat lambat laun semakin teralienasi.[3]

Realitas Zaman

Di kalangan masyarakat Jawa sering kita dengar ucapan dari para pemimpin mereka bahwa sekarang ini kita telah memasuki zaman edan. Di kalangan umat Islam, zaman kita ini disebut zaman akhir. Meskipun istilah zaman edan dan zaman akhir berasal dari sumber yang berbeda, namun keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu suatu masa yang masyarakatnya mengalami kemerosotan moral yang parah, yang di dalamnya terdapat perilaku warga masyarakat yang aneh-aneh, olehe urip ora lumrah nanging kaprah, yang berbeda dengan perilaku warga masyarakat pada masa sebelumnya. Banyak kaum politisi, para pendidik, dan pemuka agama yang menyatakan bahwa sekarang ini bangsa ini “Indonesia sedang “sakit”.

Sebagai resultan dari ekses negatif adanya globalisasi[4] di kalangan masyarakat kita, ternyata nilai-nilai etika dan estetika norma masyarakat telah pudar dan bahkan telah berubah menjadi uphoria tanpa arah. Budi pekerti bagi sebagian besar masyarakat kita telah merosot tajam, di mana sadisme dan premanisme ngremboko bak jamur di musim penghujan, dan yang lebih miris lagi adalah banyak orang yang kehilangan budaya malu” di berbagai aktifitas kehidupannya. Seorang budayawan kerabat keraton Surakarta, KRT Winarso Kalinggo Honggopuro menyatakan, “Masa’ sirah dipledhingi justru diagung-agungkan dan dielu-elukan”. Memang zaman sudah berbalik, tindak kejahatan dan kemaksiatan mengalami peningkatan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Kalau kita tengok masa lampau, pada awal kemerdekaan kaum wanita masih merasa risih dan malu memakai celana pendek meski di dalam rumah. Tetapi kini banyak kaum wanita yang berjalan-jalan keluar rumah, berbelanja di toko atau di mall memakai celana pendek yang ketat sehingga kelihatan “bahenol” dan memakai T-shirt yang ketat pula sehingga lekukan tubuhnya yang aduahi terlihat dengan jelas dan fenomenal. Fenomena yang ada gadis-gadis maupun ibu rumah tangga merasa tersanjung bilamana dikatakan sexy. Di bidang seni misalnya seni suara, lagu-lagu dangdut pada awalnya diiringi dengan gerak tarian sopan dan kostum yang sopan pula serta banyak membawakan lagu-lagu dakwah. Tetapi kini banyak penari dangdut yang dengan bangga menonjolkan erotisme dan sensualitas (delton dan suton). Semua itu menandakan terjadinya pergeseran nilai-nilai moral di kalangan masyarakat dan bangsa kita. Inilah yang dalam istilah Abdurrohman Mas’ud disebut sebagai jahiliyah modern yang sangat membahayakan.[5]

Generasi Qur’ani sebuah solusi

Untuk menghadapi era globlasisasi yang serba kompetitif seperti saat ini diperlukan sumber daya manusia yang handal dan berkualitas. Manusia berkualitas dalam Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah “manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rokhani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[6]

Manusia yang beriman dan bertanggung jawab dalam konteks ini adalah manusia yang mampu menyadari sepenuhnya bahwa di balik kekuasaan yang ada pada manusia ini, ada kekuasaan lain yang maha besar yang menciptakan dan menguasai segala segi dari hidup dan kehidupan manusia di atas dunia ini.[7] Ia selalu berbuat kebajikan di dalam kehidupan ini, baik terhadap dirinya, terhadap masyarakat dan terhadap alam sekitarnya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah penciptanya. Ia selalu menjauhkan diri dari segala perbuatan buruk yang dapat merusak dirinya, masyarakat di sekitarnya dan alam lingkungannya.[8]

Di samping itu ia mempunyai budi pekerti luhur, sesuai dengan ajaran agama, adat sopan santun dan norma hukum yang berlaku. Dengan budi pekerti luhur yang dimilikinya ia akan mampu memfilter budaya yang masuk melalui media komunikasi dan informasi yang canggih, maupun yang terbawa oleh para pendatang yang tidak mungkin dibatasi dari seluruh pelosok dunia sebagai akibat dari globalisasi. Memiliki kesehatan jasmani dan rokhani yang memungkinkannya mampu berfikir dan berbuat dengan leluasa dan sempurna dalam kehidupan kesehariannya dalam rangka meningkatkan taraf kehidupannya. Memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri yang memungkinnya mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat mememnuhi kebutuhan pembangunan nasional. Ia berfikir dan berbuat bukan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya secara khusus dan untuk bangsanya secara umum.[9]

Namun untuk mewujudkan generasi Qur’ani di maksud bukanlah pekerjaan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Ia harus diusahakan secara teratur dan kontinue baik melalui pendidikan informal seperti dalam keluarga, pendidikan formal atau melalui pendidikan non formal (masyarakat). Nah dari sini dimulailah generasi qur’ani yang revolusioner dan sebagai agent of change atau agen perubahan dalam masyarakat dalam rangka menciptakan masyarakat yang bermartabat dan berperadaban modern.

Berbicara tentang peradaban tidak akan terlepas dari sain modern. Hal ini desebabkan oleh kenyataan bahwa sains modernlah yang menjadi “tulang punggung” peradaban modern. Karena itulah maka dewasa ini banyak pemikir, baik di kalangan orientalis maupun oksidentalis merasa sangat berkepentingan untuk mengkaji secara kritis tentang sains modern tertutama berkaitan dengan landasan filosofisnya dan berusaha untuk menemukan paradigma sains alternatif yang diharapakan dapat lebih membahagiakan peri kehidupan umat manusia. Hal inilah yang di kalangan intelektual muslim lebih familier di kenal dengan istilan “Islamisasi sains”.

Keberanian merubah paradigma di atas di landasi beberapa problem yang menandai krisisnya peradaban modern,[10] sebagai misal: tersisihkannya dimensi ilahiah dalam kehidupan manusia sebagai akibat sekularisasi, adanya degradasi nilai-nilai humanitas, alienasi manusia, dan krisis lingkungan sebagai akibat pengurasan dan pengrusakan sumber daya alam. Dengan melihat fenomena di atas maka kewajiban generasi muda tertuma generasi muda Islam yang harus dan senantiasa mempunyai semangat juang untuk memperkaya pengetahuan baik pengetahuan umum wabil khusus pengetahuan agama, sehingga krisis multi dimensi di masyarakat kita dapat terminimalisir.

Generasi muda sekarang dan yang akan datang diharapkan mampu menjadi teknokrat yang beriman, birokrat yang beriman, politisi yang beriman, ulama yang selalu berpegang pada Al-Qur’an dan sunah Nabi, atau meminjam istilah KH.M. Hasyim Asy’ari menjadi generasi yang pinter dan bener (adab al-‘alim wa al-muta’alim)[11]. Karena suatu keniscayaan bahwa adanya kemajuan disebabkan majunya pendidikan. Generasi Islam maju bilamana pendidikannya maju.[12] Dengan demikian ia dapat berfikir kritis untuk memajukan dirinya, keluarganya, agamanya, masyarakatnya dan yang lebih luas lagi ia diharapkan menjadi “lampu penerang” bagi kegelapan bangsa dan negaranya. Jika generasi Qur’ani ini menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat, maka cara berfikir, bertindak dan merespon fenomena kemasyarakatan akan memberikan kedamaian, kenyamanan dan keadilan bagi rakyatnya. Oleh sebab itu, masa depan yang dibutuhkan adalah generasi-generasi Qur’ani yang mampu memimpin masyarakat sehinnga tercipta masyarakat yang Islami baldatun toyyibatun wa robbul ghofur., bukan sebaliknya pemimpin yang memperdaya rakyat. Sekian.


END NOTE


Abdurrahman Mas’ud. (2003). dalam Risalah untuk mimbar umat MUI Jawa Tengah, Edisi IV/TH II.

Anthony Gidden. (1999). Runaway World, BBC Reith Lectures: Globalization.

Ferry Firmawan (2003) Demi Islam, Demi Indonesia, Dari kaum muda untuk bangsa, Semarang: Nalar.

Hasyim Asy’ari. (2003). Menjadi Orang Pinter dan Bener (Adab al-‘alim wa al-muta’allim), Yogyakart: Qirtas.

Ibnu Djarir. (2003). Memasuki Zaman Edan, dalam Risalah untuk mimbar umat MUI Jawa Tengah, Edisi IV/TH II.

Jalaluddin Rahmat. (2001). Tarekat Nurcholisy, Jakarta: Pustaka Pelajar.

Jurnal Edukasi. (2003). Pendidikan Islam Kritis, Konstruksi Intelektual Islam Organik, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Muhaimin. (2003). Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM).

Said Agil Husin Al Munawar. (2004). Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers.

Sholihan. (2003). Pemikiran Epistimologi Al-Ghozali, Jurnal Penelitian Walisongo, ISSN 0852 – 7172, Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Qanun Publishing, 2004.

Wahiduddin Khan (2002). Menjadi Generasi Qur’ani, Yogyakarta: Mitra Pustaka.




NORMATIVITAS, HISTORISITAS ATAU INTERKONEKSITAS; SEBUAH PENDEKATAN

NORMATIVITAS, HISTORISITAS ATAU INTERKONEKSITAS; SEBUAH PENDEKATAN

Oleh : M. Taufiq Windaryanto, M.Pd.


Pengantar
Islam adalah sebuah agama[1] yang mempunyai dimensi komplek (multifaset). Ia dapat dilihat dan ditelaah dari berbagai sudut pandang (point of view), fenomena (fenomenologi), dan disiplin ilmu. Dengan demikian di dalam mempelajari dan menelaah diharapkan ekstra hati-hati sehingga tidak akan menimbulkan language game [2] yang keliru dan pemahaman yang kurang pas. Supaya tidak terjadi hal demikian, untuk saling bersinergi, saling memperkaya wawasan, dan agar tidak merasa ada ancaman dari satu terhadap yang lain maka konsep tasamuh atau toleransi mutlak di kedepankan. Karena anatar para pemikir di bidang agama (Islam) itu sendiri sudah mempunyai konsep tasamuh atau toleransi yang membumi.[3]
Kajian keislaman (Islamic Studies) adalah salah satu studi yang mendapat perhatian yang serius di kalangan ilmuan. Dengan demikian Islam dapat dipandang sebagai sebuah kajian keilmuan yang tak terelakkan. Untuk itu aspek ontologis (apa yang dikaji oleh pengetahuan itu), epistemologi (bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan), dan aksiologi (manfaat pengetahuan)[4] mutlak dijadikan paradigma awal supaya dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis kajian keislaman, merumuskan metodologi yang tepat, dan membidik format pendekatan yang tepat pula. Dengan demikian, Islamic studies layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, Islamic studies atau studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Dalam konteks ini yang menjadi persoalan mendesak untuk segera dipecahkan adalah masalah metodologi. Menurut Amin Abdullah[5], hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan di kalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara integral dan komprehensif adalah tidak menguasai metodologi. Dan sekalipun kita jumpai adanya pemahaman Islam yang sudah integral, utuh, dan komprehensif.[6] Kelemahan ini semakin terasa manakala umat Islam, khususnya di Indonesia tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi konsumen pemikian. Jadi, kelemahan umat Islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi namun lebih pada cara-cara penyajian terhadap materi yang dikuasai. Kedua adanya anggapan bahwa Islamic studies atau studi Islam di kalangan ilmuwam telah merambat ke berbagai wilayah. Misalnya, studi Islam sudah masuk ke studi kawasan filologi, dialog agama, anthropologi, arkeologi, dll.
            Sebagaimana tersebut di atas bahwa Islam yang bersifat multifaset dan bidang atau materi kajiannya sangat kompleks, maka sudah sewajarnya dan tidak bisa dinafikan bahwa kita akan “tahu sedikit tentang banyak”. Secara integral dan komprehensif mengenai pemahaman keislaman dapat kita lihat dan telaah dari berbagai tulisan para tokoh keislaman, seperti; M. Amin Abdullah menggunakan pendekatan kefilsafatan dalam mengkaji Agama wabil khusus Islam; Atho’ Mudzhar, yang menawarkan pendekatan baru (new approach) dalam studi hukum Islam, yakni dengan pendekatan sosiologi; Akh. Minhaji, dalam studi hukum Islam ia menggunakan pendekatan sejarah (histories approach); Simuh, ia menggunakan pendekatan sejarah khususnya dalam mengkaji Ushul fiqih; Fazlurrahman, ia juga menggunakan pendekatan sejarah dalam mempelajari Islam; dan Qodri A.Azizy, ia menggunakan model pendekatan atau metode interdisipliner[7] dalam studi Islam. Beberapa model pendekatan dalam studi Islam diharapkan akan menjadi solusi atau pemahaman baru (new comprehension) tentang Islam. Sehingga kita tidak terjebak dalam pemahaman yang menyesatkan dan dapat memilah-milah istilah yang tepat yang terkadang dapat berpotensi menjadi language games, seperti sekuler[8], liberal, dan lain sebagainya.

Urgensi Metodologi
            Sebelum berbicara mengenai metode dalam mempelajari Islam atau metodologi Studi Islam, akan dikemukakan beberapa hal tentang metode memahami Islam. Hal ini diharapakan supaya pemahaman dalam makalah ini bersifat sekuensial. Dalam buku berjudul Tentang Sosiologi Islam karya Ali Syari’ati (Abuddin Nata, 2006 : 152) dijumpai uraian singkat mengenai metode memahami yang pada intinya Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, Ali Syari’ati mengatakan bahwa jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandangan saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihat secara tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. [9]
            Satu dimensi, misalnya mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Al-Qur’an. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Al-Qur’an yang menjadi bahan pemikiran bagi para filosof serta teolog saat ini. Dimensi al-qur’an lainnya lagi yang belum dikenal ialah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis, sosiologis, dan psikologis. Berbagai aspek yang ada dalam Al-qur’an jika dipelajari secara keseluruhan akan menghasilkan pemahaman Islam yang menyeluruh dan bukannya parsial.
Lebih lanjut Nasruddin Razak  dalam bukunya Dienul Islam pemikiran kembali Islam sebagai suatu Aqidah dan way of life, menjelaskan bahwa memahami Islam secara komprehensif adalah penting walaupun tidak secara detail. Untuk memahami Islam secara komprehensif dan benar, Nasruddin Razak menmformulasikan 4 (empat) cara,[10] yakni :
Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Al-Qur’an dan sunah Rosulullah. Mempelajari Islam tanpa berpedoman pada Al-qur’an dan As-sunnah akan menjadikan orang menjadi sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan khurafat, yakni telah tercampur dengan hal-hal yang tidak Islami, jauh dari ajaran Islam yang murni.
Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak secara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian[11] saja.
Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’amma dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-qur’an dan Sunnah Rosulullah dengan pengalaman yang indah dari praktik ibadah yang dilakukan setiap hari.
Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normative teologis yang ada dalam Al-qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan siosiologis yang ada dalam masyarakat.
            Metodologi merupakan ilmu yang dapat memberikan atau mengarahkan jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu.[12] Berkaitan dengan kajian keislaman suatu metode sangatlah urgen keberadaannya sebagaimana telah disebutkan dalam pengantar diawal tulisan ini terutama ketika seseorang menerima ajaran Islam. Seseorang yang menerima ajaran Islam secara sistematik dan terorganisir dengan baik serta dapat memahami disiplin ilmu keislaman lainnya maka tidak akan mengakibatkan pemahaman yang keliru serta dapat saling berbagi/kompromi (open mainddedness). Dalam hubungan ini Mukti Ali mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.
            Seseorang yang mempunyai kecerdasan luar biasa (jenius) terkadang tidak bisa mengembangkan pengetahuannya dikarenakan kurang memahami metode yang sesuai. Hal ini dapat dicontohkan bagaimana Eropa mengalami stagnasi ilmu pengetahuan (the dark age) hingga berlangsung seribu tahun yang disebabkan karena metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Akan tetapi masa renaissance dapat direalisasikan selama kurang lebih 300 tahun oleh orang yang kecerdasannya jauh di bawah Aristoteles, seperti Francis Bacon dll. Orang yang kecerdasannya biasa-biasa saja ketika menemukan metode berfikir yang benar dan utuh sekalipun kecerdasannya biasa, mereka dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya dengan benar pula, maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan kecerdasan dan kejeniusannya.
Dengan demikian metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukannya menjadi produsen. Sehingga disadari bahwa dalam menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat dikembangkannya.

Signifikansi Studi Islam
            Dari sudut pandang kebudayaan agama merupakan universal culture. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Dalam konteksnya agama dari zaman dahulu hingga kekinian dengan tangguh menyatakan eksistensinya, karena memerankan sejumlah peran dan fungsinya di masyarakat (Djamari, 1993 : 79).[13] Oleh karenanya secara umum studi Islam menjadi penting, karena agama (termasuk Islam) memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.
            Secara umum studi Islam di Indonesia diharapkan dapat mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat muslim Indonesia secara khusus, dan masyarakat beragama pada umumnya. Adapun perubahan yang diharapkan adalah format formalisme keagamaan Islam diubah menjadi format agama yang substantif. Sikap eksklusivisme kita rubah menjadi sikap inklusivuisme dan universalisme yakni agama yang tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan karena pada dasarnya agama diwahyukan untuk seru sekalian alam termasuk manusia.[14] Oleh karenanya Studi Islam diharapkan melahirkan suatu kondisi masyarakat yang siap hidup toleran (tasamuh) dalam wacana pluralitas agama, sehingga tidak melahirkan muslim ekstrim.

Dari Normativitas – Historisitas ke Interkoneksitas
            Dari perspektif filasafat ilmu, setiap ilmu baik itu ilmu alam, sosial, agama atau ilmu-ilmu keislaman, harus diformulasikan dan dibangun di atas teori-teori yang berdasarkan pada kerangka metodologi yang jelas. Dalam kaidah ini, teori-teori sebagai wujud ekspresi intelektual yang seharusnya tidak boleh disakralkan dan dogmatik. Bertitik tolak dari pemahaman yang demikian, maka timbullah sudut pandang yang berbeda dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sisi normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sisi historis atau sebagaimana yang tampak alam masyarakat, Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu atau ilmu keislaman (Islamic studies).[15]
            Pendekatan yang kedua agaknya tidaklah berlebihan untuk diimplementasikan sebagai pendekatan dan disiplin ilmu mengingat pluralitas agama yang hidup di Indonesia, termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh internal umat beragama adalah merupakan kenyataan histories yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Karena bagaimanapun juga pluralitas agama di Indonesia dapat diamati secara empiris historis yang membutuhkan masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan yang segar yang tidak lagi bersifat “teologis-normatif’ an-sich, namun juga membutuhkan masukan-masukan dari kajian keagamaan yang bersifat historis-empiris-kritis.
            Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan agama yang berwajah ganda (double face) dalam studi agama di Indonesia, yakni pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan sekaligus pendekatan yang bersifat historis-kritis. Kedua pendekatan itu tidak terpisah satu sama lain, melainkan menyatu dalam satu kesatuan yang utuh, ibarat sekeping mata uang logam (two sides in one coin) di mana antara kedua permukaannya menyatu dalam satu kesatuan yang kokoh, namun dapat dibedakan.  Walaupun dalam praksisnya di antara keduanya kadang terjadi ketegangan (tension), namun ketegangan tersebut diharapkan bersifat kreatif (creative tension) bukannya ketegangan yang bersifat destruktif (destructive tension). Ketegangan kretaif selamanya akan mewarnai masyarakat beragama yang bersifat pluralistik seperti di tanah air.
            Pada umumnya, normativitas ajaran wahyu (teologis-normatif) dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal-teologis. Pendekatan ini berangkat dari teks yang sudah ditulis dalam kitab suci yang  bercorak literalis, tektualis atau skriptualis. Sedangkan kajian historisitas keagamaan ditelaah lewat berbagai pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun anthropologis.[16] Pendekatan yang kedua ini menganjurkan pentingnya telaah yang mendalam tentang “asbab an-nuzul” baik yang bersifat kultural, psikologis maupun sosiologis.                   
            Namun dalam kenyataannya, ketegangan (tension) sering muncul dari kubu masing-masing pendukung pendekatan tersebut di atas. Tension tersebut dapat kita lihat ketika pendekatan pertama menuduh pendekatan yang kedua (historis) sebagai pendekatan dan pemahaman keagamaan yang bersifat “reduksionis’ yakni pemahaman keagamaan yang hanya terbatas pada aspek eksternal-lahiriah dari keberagaman manusia dan kurang begitu memahami, menyelami dan menyentuh aspek batiniah-eksoteris serta makna terdalam dalam moralitas yang dikandung oleh ajaran agama. Sedang pendekatan yang kedua, balik menuduh pendekatan yang pertama (normatif) sebagai jenis pendekatan dan pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat ”absolutis” lantaran para pendukung pendekatan pertama ini cenderung mengabsolutkan teks yang sudah tertulis, tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang melatarbelakangi berbagai teks keagamaan yang ada.  Tension ini muncul ke permukaan semata-mata karena klaim kebenaran (truth claim), klaim validitas, dan otoritas keilmuan yang melekat pada diri masing-masing, dengan saling mengecilkan arti dan manfaat yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
            Supaya tension yang berkembang bisa kreatif dan lama kelamaan bisa tereduksi maka pada bagian lain dalam bukunya “Islamic stidies di Perguruan Tinggi” Amin Abdullah menawarkan sebuah gagasan yang cukup kompromistis yakni paradigma keilmuan “interkoneksitas” dalam studi kislaman kontemporer. Paradigma “interkoneksitas” ini berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama yang lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri[17]. Paradigma “interkoneksitas” yang ditawarkan Amin Abdullah ini lebih bersifat modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humility (rendah hati), dan humam (manusiawi).[18]
            Secara epistemologi, paradigma interkoneksitas merupakan jawaban atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing berdiri sendiri, tanpa merasa perlu tegur sapa. Sedangkan secara aksiologis paradigma interkoneksitas hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, open maindedness, mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan visioner. Secara ontologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks kitab suci (normatif) dan budaya pendukung keilmuan kealaman (faktual-historis-empiris) masih tetap saja ada.

Penutup
            Untuk mengurangi ketegangan yang diakibatkan oleh “truth claim”, truth validity” yang secara metafisis dan psikologis memang dapat dimengerti, namun pada ruang lingkup pergumulan sosiologis-kultural kadang sangat mencekam, terutama bagi masyarakat yang besifat pluralistik. Studi dan pendekatan agama yang bersifat empiris-historis-kritis dan paradigma interkoneksitas agaknya akan dapat menyumbangkan jasanya untyuk mengurangi kadar dan intensitas ketegangan (tension) tersebut, tanpa harus berpretensi dapat menghilangkannya sama sekali. Lewat kajian dan pendekatan agama yang bersifat kritis-historis, yakni lewat analisis yang tajam terhadap aspek historis yang diramu dengan paradigma interkoneksitas daripada normativitas ajaran wahyu akan mampu menjernihkan duduk perkaranya “keberagaman” manusia.
            Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk secara intern agama (Islam) dan keberagamaannya, kerjasama yang kompromistis kedua jenis pendekatan agama, yakni pendekatan agama yang bersifat teologis-normatif, dan pendekatan agama yang bersifat historis-empiris, yang kemudian dipadukan dengan paradigma interkoneksitas sangatlah diperlukan. Sehingga dengan demikian studi agama melalui pendekatan keilmuan yang bersifat multi dan interdisipliner dengan ditopang metodolgi yang tepat sudah merupakan keharusan yang tidak perlu ditunda lagi. Dalam kaitan ini, agama (Islam) tampak sebagai ajaran yang di samping berkenaan dengan keyakinan dan moral juga berkenaan dengan masalah peraturan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Akhir kata, cukup bijak apa yang disampaikan hujjatul Islam Imam Alghozali “pendapat kita mungkin benar, namun pendapat orang lain juga kemungkinan benar. Sebaliknya pendapat orang lain mungkin salah, namun tidak menutup kemungkinan pendapat kita juga berpotensi salah”.


Sumber Bacaan


Abuddin Nata. (2006). Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada

……… (2003). Bukan intervensi Negara terhadap agama tapi …”. Dalam Jurnal Edukasi, Edisi XXVIII/Th.XI/I/2003, ISSN : 0583-5264, Semarang: Fakta IAIN Walisongo Semarang

Amin Abdullah. (2004). Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

……… (2006). Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

……… (2000). Mencari Islam; Studi Islam dengan berbagai pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. (2007). Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya..

Budhy Nunawar Rachman. (1995). Ilmu Hudluri: ‘Mengelak” dari mistik?, dalam Ulumul Qur’an, No.1, vol.VI Tahun 1995.

Djamari. (1993). Agama dalam Perspektif Sosiologi, Bandung: Alfabeta.

Harun Nasution. (1985). Islam; ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: UI-Press.

Jalaluddin Rahmat, dkk. (2001). Tarekat Nurcholisy, Jakarta: Pustaka Pelajar.

Jujun S. Suriasumantri. (2003). Filsafat Ilmu; sebuah pengantar populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nasruddin Razak. (1977). Dienul Islam; penafsiran kembali Islam sebagai suatu aqidah dan way of life, Bandung: Mizan.

Suharsimi Arikunto. (1998). Prosedur penelitian; suatu pendekatan praktik, Jakarta: Rineka Cipta.






[1] Selain kata Agama dalam bahasa Indonesia, dikenal pula kata diin dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa Eropa. Ada pula yang menyebut bahwa agama berasal dari bahasa Sansekerta, yang tersusun dari dua kata, a=tidak, dan gam=pergi, jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun, dan tuntunan. Ada lagi yang berpendapat bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Diin dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hokum. Dalam bahsa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Selanjutnya, agama memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh pada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh seseorang menjadi hutang baginya. Paham kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepadapaham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan mendapat balasan baik dari Tuhan. Yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak payuh akan mendapat balasan tidak baik. Sedangkan kata religi dari bahasa Latin. Ia berasal dari kata relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca.Agama memang kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata religi berasal dari kata religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam agama selanjutnya terdapat pula ikatan antara roh manusia dengan Tuhan. Dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan. Lihat Harun Nasution, Islam; ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta : UI-Press, 1985, Jilid I, cet.5, hlm. 1-2.
[2] Istilah “language games” ini mempunyai aturan sendiri sesuai konteknya, sehingga kata yang sama bila digunakan dalam language games yang berbeda pasti mempunyai arti yang berbeda. Teori language games ini juga berlaku bagi aneka bentuk kehidupan (form of life), termasuk kehidupan umat Islam dalam mengartikan diinul Islam maupun dalam mempraktikkan syari’ah. Teori ini pertama kali digunakan Ludwig Wittggenstein dalam bukunya “philosophical investigation” untuk menunjukkan bahwa bahasa mempunyai beberapa macam fungsi sesuai konteks (meaning is context). Lihat Budhy Nunawar Rachman, Ilmu Hudluri: ‘Mengelak” dari mistik?, dalam Ulumul Qur’an (No.1, vol.VI Tahun 1995), hlm. 61-62.
[3] Abuddin Nata, Bukan intervensi Negara terhadap agama tapi …”. Dalam Jurnal Edukasi, Edisi XXVIII/Th.XI/I/2003, ISSN : 0583-5264, Semarang : Fakta IAIN Walisongo Semarang, 2003, hlm.22.
[4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; sebuah pengantar populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003, cet.17. hlm. 35.
[5] Amin Abdullah, dkk, Mencari Islam; Studi Islam dengan berbagai pendekatan, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2000, hlm.xi.
[6] Pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif dapat kita jumpai antara klain dari pemahaman Islam yang dikemukakan para tokoh reformer, seperti Muhammad Abduh (mujadid dari Mesir), Muhammad Iqbal dan Fazlurrahman (Pembaharu dari Pakistan), Harun Nasution dan Nurcholis Madjid (pembaharu dari Indonesia). Pemikiran dan pemahaman Keislaman yang dikemukakan para tokoh [embaharu tersebut dapat dijumpai dari berbagai karya tulisnya.
[7] Metode interdisipliner merupakan disiplin Ilmu yang bekerja sama untuk kepentingan tertentu. 
[8] Sekuler atau kalau dalam istilah bahasa Indonesia bisa berarti proses, yakni sekularisasi yang menurut Cak Nur (panggilan akrabnya Nurcholis Madjid) adalah “menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengakhiratkannya”. Gagasan inklusivisme dan universalisme Islam dalam pandangan Cak Nur bahwa “Islam tidak identik dengan Ideologi”. Sedangkan kemodernan terartilukasikan kuat lewat jargon “modernisasi adalah rasionalisasi bukannya westernisasi”. Lihat Jalaluddin Rahmat, dkk, Tarekat Nurcholisy, Jakarta : Pustaka Pelajara, 2001, hlm.ix.
[9] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 152.
[10] Nasruddin Razak, Dienul Islam; penafsiran kembali Islam sebagai suatu aqidah dan way of life, Bandung : Mizan, 1977, cet.II, hlm. 52.
[11] Apabila Islam dipelajari sebagian saja dari ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran, dan dalam bidang-bidang masalah khilafiyah, maka tentulah pengetahuannya tentang Islam seperti yang dipelajarinya, yaitu sebagai kecil dari masalah dalam Islam dan yang bukan pokok. Lebih dari itu seseorang mungkin skeptis atau ragu terhadap Islam dengan adanya hala-hal yang tampaknya mengandung antagonisme. Pemahaman Islam secara parsial akan membawa akibat seperti hikayat pengenalan dari empat orang buta terhadap gajah. Bagi mereka yang kebetulan memegang ekornya berpendapat bahwa gajah itu panjang seperti cambuk. Bagi mereka yang memegang kakinya berkata bahwa gajah itu ibarat pohon kelapa, dan yang kebetulan memegang telinganya mengatakan bahwa gajah itu lembek dan lebar, tetapi yang kebetulan memegang perutnya memahami gajah itu laksana barang tergantung yang besar. Lihat Nasruddin Razak, Ibid. hlm. 49-50.
[12] Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian; suatu pendekatan praktik, Jakarta : Rineka Cipta, 1998, cet.XI, hlm. 245.
[13] Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Bandung : Alfabeta, 1993, hlm. 79.
[14] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007, cet.IX, Hlm. 9.
[15] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, op. cit., hlm. 151.
[16] Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, cet.IV. hlm. Vi.
[17]  Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalan secara sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, maka self sufficiency cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmaindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme partikularitas disiplin keilmuan. Kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih cepat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapi. 
[18] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, hlm. Vii.